Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ambisi terhadap kedudukan, pujian, sanjungan, pangkat dan jabatan. Orang rela mencurahkan segala energi dan potensinya, hanya demi mengejar popularitas dan ketenaran belaka. Amal demi amal dia tumpuk. Kebaikan demi kebaikan dia kerjakan. Prestasi demi prestasi dia koleksi dan banggakan. Setiap jengkal bumi seolah menjadi saksi akan langkah dan segenap jasa yang dia berikan kepada umat manusia dan peradaban. Akan tetapi, Allah Yang Maha Mengetahui isi hati tidak bisa ditipu mengenai apa yang terdapat di dalam hatinya.
Apakah dia seorang yang mukhlis/benar-benar ikhlas ?
Ataukah itu semuanya hanya topeng dan pemanis belaka… ?
Saudaraku yang dirahmati Allah, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah menafsirkan tentang makna ahsanu amalan; amalan yang terbaik. Kata beliau, ahsanu ‘amalan itu adalah ‘akhlashuhu wa ashwabuhu‘ yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Amal yang Allah terima adalah yang ikhlas dan benar.
Ikhlas jika dilakukan karena Allah, sedangkan benar maknanya jika ia berada di atas tuntunan/as-Sunnah. Poin yang ingin kita petik di sini adalah perihal keikhlasan… Syi’ar orang-orang yang ikhlas itu adalah seperti yang Allah kisahkan perkataan mereka, “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian demi mencari wajah Allah, kami tidak ingin balasan ataupun ucapan terima kasih.” Demikianlah syi’ar dan isi hati mereka. Tidak mengharapkan balasan dan imbalan dari manusia. Yang mereka inginkan adalah keridhaan Allah. Mereka juga tidak mencari sanjungan dan simpati massa. Sebab yang mereka cari adalah wajah Allah semata. Inilah potret keikhlasan yang sering kita lupakan.
Kita pun pernah mendengar kisah, tentang tiga orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat. Seorang mujahid, seorang yang berilmu dan pandai membaca al-Qur’an, dan seorang kaya yang suka memberikan bantuan dan kepedulian. Ketiga-tiganya harus menerima kenyataan pahit bahwa amal mereka ditolak di sisi Allah dan membuat mereka masuk ke dalam neraka. Bukan karena amalan itu tidak sesuai Sunnah, bukan karena amalan itu kecil atau tidak memberikan manfaat untuk umat, bukan karena amalan itu remeh. Namun, karena amal-amal besar yang mereka lakukan telah tercabut dari akar keikhlasan. Amal dan kebaikan mereka hangus gara-gara tidak ditegakkan di atas niat yang ikhlas…
Sungguh benar ucapan Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal yang besar justru menjadi kecil juga karena niatnya.” Marilah kita renungkan! Apa beda takbirnya orang yang ikhlas seratus karat dengan takbirnya orang yang munafik tulen? Apa bedanya? Tidak ada bedanya. Karena ucapan takbir ‘Allahu akbar‘ ketika sholat diucapkan siapa pun, entah dia muslim atau munafik. Jadi, masalah ikhlas ini bukan masalah penampilan, tata-cara dan sifat fisik yang bisa ditangkap dengan indera. Ikhlas adalah persoalan hati. Sesuatu yang tertancap dan bergolak di dalam hati seorang insan. Ikhlas ini harus berjuang mati-matian untuk bisa eksis dan berjaya di pentas pertarungan antara pasukan tauhid dan pasukan kemusyrikan, perang yang dahsyat antara brigade iman dengan gerombolan kekafiran, ikhlas harus menang dan mengatasi keadaan.
Banyak musuh yang mengincarnya. Musuh mengetahui bahwa ikhlas itulah yang menjadi rahasia kemenangan dan gerbang keselamatan. Sebagaimana kisah Yusuf ‘alaihis salam yang begitu menyentuh dan menegangkan. Keikhlasan beliau adalah pintu cahaya Allah, kunci hidayah dan kesucian diri. Godaan wanita cantik dan berkedudukan tak berhasil menyeretnya dalam kenistaan. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, ikhlas selalu berada dalam incaran dan ancaman. Musuh mengintai dan terus mengawasi gerak-gerik hati. Sebisa mungkin mereka menargetkan agar hati itu terus terbuai oleh kenikmatan semu dan kebahagiaan palsu yang dibungkus dengan selebung ketenaran dan harumnya popularitas. Bahkan, setan berusaha menanamkan pikiran kepada si manusia bahwa jerih payah memburu popularitas inilah sejatinya cermin dari keikhlasan. Dia ingin memberikan wajah ikhlas kepada kesyirikan. Na’udzu billahi min dzalik.
Berbicara tentang ikhlas pun membutuhkan keikhlasan. Ikhlas dibutuhkan dimana pun dan kapan pun, oleh siapa pun. Oleh sebab itu, wajarlah jika Imam Bukhari rahimahullah menempatkan hadits innamal a’malu bin niyaat; bahwa amal dinilai dengan niatnya di bagian awal kitab Sahih-nya. Demikian pula Imam Abdul Ghani al-Maqdisi dalam kitabnya ‘Umdatul Ahkam serta Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin dan al-Arbain an-Nawawiyah. Ini semua menunjukkan kepada kita tentang pentingnya meluruskan niat dan menjaga keikhlasan.
Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan yang lebih berat seperti perjuangan untuk mencapai ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Ikhlas itu adalah ‘barang’ yang paling mahal.” Ada juga yang mengatakan, “Ikhlas sesaat adalah kunci keselamatan untuk selama-lamanya.” Ada pula yang menasihatkan, “Wahai jiwaku, ikhlaslah kamu niscaya kamu akan selamat.” Pada hari kiamat nanti, di padang mahsyar, tatkala matahari didekatkan sejarak satu mil. Ketika itu manusia bermandikan peluh dan terjebak dalam genangan keringatnya masing-masing.
Di saat itulah Allah berkenan memberikan naungan Arsy-Nya untuk sebagian hamba pilihan. Hamba-hamba yang menghiasi dirinya dengan rona keikhlasan dan semangat ketulusan. Diantara mereka itu adalah, “Seorang lelaki yang berzikir kepada Allah dalam kesendirian lalu mengalirlah air matanya.” Inilah air mata keikhlasan dan rasa takut kepada Allah. Ada juga “Seorang lelaki yang memberikan sedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” Ini semua adalah cerminan keikhlasan. — Penulis: Ari Wahyudi Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment