Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
SAUDARAKU. Misalkan saudara menghadiri pengajian di Daarut Tauhiid. Kira-kira mengapa saudara bisa hadir di sana? Saudara sendiri belum tentu mau hadir.
Nah, boleh jadi hal itu disebabkan kebaikan-kebaikan yang telah saudara lakukan. Misalnya pada waktu ke warung, dan saat membayar barang seharga delapan ribu dengan uang sepuluh ribu, saudara berkata, Bu, kembaliannya mangga wae. Lalu dalam hati ibu pemilik warung berdoa, Ya Allah, jadikan orang ini termasuk orang yang dekat dengan-Mu.
Jadi, ketika kita duduk di dalam pengajian itu, sebetulnya berseliweran doa-doa orang yang pernah kita lakukan kebaikan padanya. Mungkin bagi kita kebaikan itu tidak ada apa-apanya. Karena amal yang hebat di sisi Allah adalah yang dirasa tidak ada apa-apanya. Kalau kita merasa amal yang kita lakukan hebat, atau butuh diakui orang, maka amal itu justru tidak ada apa-apanya di hadapan Allah.
Ketika berbuat baik lillaahitaala, sebetulnya di dunia ini kita sudah langsung memperoleh balasannya. Walaupun tidak ada orang yang melihat atau mendoakan, tapi Allah pasti menyaksikan. Kita jangan mengatur Allah. Karena balasan kebaikan yang terpenting adalah rasa nikmat di hati.
Ketika kita ikhlas, kita merasa sangat nikmat dalam menolong orang. Sama seperti salat yang disukai Allah, waktu mengerjakannya terasa khusyuk dan nikmat. Atau, terasa begitu nyaman ketika bertobat dengan tobat yang disukai Allah.
Nah, saudaraku. Perbanyaklah kebaikan sekecil apa pun, dan lillaahitaala. Ketika kita ada maupun tidak ada, sedang punya maupun kekurangan, buatlah segalanya menjadi kebaikan. Termasuk berbaik sangka dan berbicara yang baik. Allah pasti menyukai.Dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-Baqarah [2]: 195)
Saat berbuat kebaikan, kita jangan terpengaruh oleh pandangan orang. Ada yang tidak percaya atau menghina, biarkan saja. Itu urusan dia. Meskipun kita sudah membantu dengan segenap tenaga, waktu, perhatian bahkan biaya tapi malah direndahkan, maka tidak apa-apa. Kita harus tetap berbuat kebaikan lillaahitaala. Kita tidak punya urusan dengan penilaian dan pengakuan makhluk.
Kalau orang melotot kita melotot lagi, orang membeberkan aib kita membeberkan lagi, orang menghina kita menghina lagi, orang pelit kita pelit lagi, lalu untuk apa kita sekolah lama-lama? Untuk apa tiap malam Jumat ikut pengajian di Daarut Tauhiid? Kalau kuliah ujungnya hanya bisa meniru kejelekan orang, lebih baik keluar dari kampus. Untuk apa kita menghafal al-Quran kalau keterampilan yang didapat hanya mencontoh keburukan orang? Benar?
Saudaraku yang baik. Kita harusnya memiliki pilihan sendiri. Orang melotot, menghina, atau pelit itu pilihan dia, dan dia sendiri yang bakal menanggungnya. Masa kita ikut-ikutan jelek? Pilihan kita adalah dermawan, tidak melotot dan tidak menghina, karena ini yang disukai Allah. Pilihan kita bukan sesuatu yang disukai oleh nafsu.
Jangan mau diatur oleh keburukan orang lain. Kita hanya mau diatur oleh apa yang disukai Allah, yaitu kebaikan. Pilihlah apa yang dicintai Allah saja. Karena yang menentukan semuanya adalah Allah SWT. Ia selalu menyaksikan dan mengawasi. Tidak ada sehalus apa pun yang luput dari pengawasan-Nya.
Oleh sebab itu, hanya dua hal yang harus kita ingat dalam bergaul.
Pertama, harapkan yang baik untuk orang, yaitu berharap orang dekat dengan Allah. Bukan berharap orang menjadi baik kepada kita, karena tidak ada gunanya dan tidak perlu. Misalkan sebagai orang tua, bukan berharap anak berbakti kepada kita. Tapi harapkan anak dekat dengan Allah. Nanti Allah yang akan menggerakkannya berbakti kepada kita. Atau, sebagai suami berharaplah istri mencintai Allah sepenuh hati, dan istri juga demikian. Bukan berharap suami mencintai istri, atau istri mencintai suami. Karena kalau tidak lillaahitala, kita menjadi mudah sakit hati. Seperti berdoa, Ya Allah, balikkan hati suami (istri) saya ke sini, jangan salah alamat, ya Allah, ke sini. Tidak usah memaksakan orang suka kepada kita, dan tidak penting. Yang penting bagi kita, orang mencintai Allah.
Kedua, kita bisa menjadi manfaat untuk orang dalam kebaikan. Maksudnya, bukan kita yang bermanfaat, tapi kita menjadi perantara atau jalan manfaat buat orang lain. Misalnya, Mudah-mudahan saya bisa menjadi jalan ilmu, hidayah, taufik, atau rezeki. Kita hanya menjadi jalan atau perantara. Karena kita semua hanyalah makhluk yang tidak punya apa-apa. Bukan, Mudah-mudahan saya bisa memberi ilmu. Kalau menganggap kita yang melakukan atau memberi, berarti kita masih ingin diakui makhluk, dan sombong. Misalnya kita berkata, Tuh, kan, baru sekali saya nasihati dia langsung berubah. Padahal bisa jadi hidayah dan taufik dari Allah datang kepada dia melalui cucu tetangganya. Tapi kita yang berlagak keren. Jangan bergaul karena berharap-harap dari orang untuk kepentingan kita.
Nah, saudaraku. Kalau kebaikan kita sudah lillaahitala, kita pun pasti tenang dan bahagia. Insya Allah, pada saatnya pulang kita juga akan selamat.Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, Apakah yang telah diturunkan Rabb-mu? Mereka menjawab, Kebaikan. Bagi orang yang berbuat baik di dunia ini akan mendapat balasan yang baik. Dan sesungguhnya negeri akhirat pasti lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. an-Nahl [16]: 30). [*]
No comments:
Post a Comment